japan, tokyo, shibuya-217882.jpg

Hikikomori

Jepang adalah negara yang penuh pesona, semua turis yang pernah berkunjung ke Jepang pasti mengatakan akan datang lagi, tapi taukah anda ada persaingan ketat di dalam masyarakatnya yang kalah akan terpental masuk kamar menyendiri

     Ada yang suka menyendiri di kamar, tapi kalau lapar dia keluar makan di meja makan, walaupun sangat jarang dia tetap bersosialisasi, ini sih keranjingan main game !

   Tapi,  Bagaimana kalau selama bertahun-tahun tidak pernah keluar, nah ini gawat. Setiap jam makan ibunya hanya bisa meletakkan nampan yang berisi makanan di depan pintu kamarnya, bahkan dia tidak bisa melihat saat pintu kamar dibuka, pernah satu kali ibunya mengintip dari dapur tapi dilihat anaknya, langsung nampan itu di lempar ke arahnya..Itulah saat terakhir kali dia melihat anaknya

    Menurut Kementeria Kesehatan dan Ketenagakerjaan Jepang definisi dari hikikomori adalah kondisi hilangnya tempat belajar atau tempat bekerja dalam jangka lebih dari 6 bulan sebagai akibat dari yang bersangkutan semakin menarik diri dari aktifitas sosialnya karena berbagai sebab. Dalam survey yang di lakukan kantor Perdana Menteri Jepang di tahun 2019, penduduk yang menderita hikikomori diseluruh Jepang berjumlah 1.100.000 orang. Dengan rentang usia 14 tahun 12,2%, 15-19 tahun 30,6%, 20-24 tahun 34,7%, 25-29 tahun 8,2%. Usia penderita hikikomoripun semakin tua hingga yang berusia diatas 40 tahun sudah meliputi 61% dan yang berumur 50 tahun mencapai 30,1%. Melihat semakin meningkatnya penderita hikikomori, pemerintah mengambil langkah dengan mendirikan bagian khusus lengkap dengan psikolog yang melayani konsultasi hikikomori melalui nomor telepon khusus pada setiap kuyakusho, bahkan pemerintah daerah Tokyo sampai menyiapkan dana khusus untuk mengatasi masalah ini sebesar 165 juta Yen.

Hikikomori pada anak-anak

Photo by note thanun on Unsplash

    Di Jepang penyebab hikikomori pada anak seringkali ada di sekolah seperti selalu mendapatkan nilai rendah pada mata pelajaran tertentu sehingga sering dimarahi guru, malu dengan teman sekelas, dibully, atau selalu di kucilkan dari pergaulan sekolah.

    Suatu saat, anak yang masih duduk di SD tiba-tiba tidak mau ke sekolah karena sakit perut, semakin lama semakin sering dia bolos, semakin lama juga waktu yang dihabiskan untuk menyendiri dalam kamar.  Biasanyan wali kelas akan menanyakan kepada orang tua yang anaknya sering tidak masuk, dari keterangan orang tua dan perilaku anaknya di kelas, wali kelas kemudian berkesimpulan ada hal yang serius dibalik seringnya sang anak tidak masuk. Hari berikutnya wali kelas datang bersama dengan psikolog sekolah untuk berbicara dan melihat kondisi si anak, melalui serangkaian konsultasi orang tua murid dengan guru, biasanya didapat gambaran kalau sang anak ada kemudian mengalami hikikomori. Tidak sedikit orang tua yang dapat menerima kenyataan ini, karena hal itu berarti anaknya “berbeda” dengan anak yang lain dan perbedaan disini berarti “membuat malu keluarga”. Hal berikutnya yang dilakuka orang tua di Jepang adalah dengan menelpon kuyakusho karena disana memang ada psikolog yang khusus menangani masalah hikikomori.

    Konon hal yang paling baik yang harus dilakukan  adalah memperlakukan si anak seperti biasa, walaupun tidak di jawab sapalah setiap hari dengan “selamat pagi”, “ini makanannya” atau sapaan apapun yang bisa membuatnya tenang merasakan kedekatan dengan keluarga, sepatah kata ini bagaikan setetes air yang harus ditampung dalam botol hingga penuh, intinya adalah menyampaikan pesan, “kamu tetap anak ibu” dan bersabar mendengarkan segala macam keluhan, bahkan caci maki dari sang anak dan orang tua sangat tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang menyalahkan atau memojokkan sang anak seperti, “diam dikamar terus mau jadi apa kamu !” “lihat dong teman baik kamu nilainya bagus” atau “kalau gak mau belajar ya kerja dong !” . Menurut psikolog sebenarnya dia tahu, dia sadar apa yang dia lakukan tapi dia tidak berani keluar rumah karena merasa semua mata mengarah ke dirinya, dia belum memiliki keberanian untuk melawan sisi lain dalam dirinya sendiri. Dalam keadaan menyendiri, berbagai macam kenangan terlintas di benaknya, termasuk kata-kata kasar, omelan yang sering dia terima. Kenangan kelam ini lalu menimbulkan kebencian terhadap orang tuanya sendiri. Saat sang anak sudah tidak tahan lagi maka dia akan meledakkan amarahnya dengan melakukan KDRT dalam hal ini oleh anak kepada orang tua sebagai bentuk balas dendam, amarahnya seringkali disalurkannya dengan merusak tembok, lantai, apapun yang ada di kamarnya.

Hikikomori orang dewasa

    Hikikomori dikalangan orang dewasa dapat terjadi secara tiba-tiba misalnya ketika sedang bekerja tiba-tiba di pindahkan ke bagian lain atau bahkan di pecat. Berbeda dengan para remaja yang mentalnya masih rapuh, orang dewasa yang mengalami hikikomori dapat keluar dari lingkaran setan ini relatif lebih mudah, misalnya ketika mendapat kesibukan baru ditempat kerjanya yang baru. Tetapi biasanya tidak akan bertahan lama karena mereka akan mengalami hal yang sama, sulit untuk bersosialisasi.

couple, street, city-3467634.jpg

    Karena tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau anak nya mengamuk, orang tua yang anaknya terkena hikikomori mengalah pindah ke panti jompo dan rumah yang di tinggalkannya itu dikuasai sang anak. Saat petugas LSM datang bersama sang ayah, saat pintu dibuka tumpukan sampah berserakan di seluruh dalam rumah, bau busuk sampah yang tidak pernah dibuang selama 12 tahun langsung menyengat hidung, bahkan beberapa bagian lantainyapun sudah lapuk. Sudah berkali-kali juga para tetangga protes karena bau yang terlalu menyengat. Saat ditanya oleh petugas kapan dia terakhir kali mandi, karena sudah terlalu lama dia sudah tidak ingat lagi, “mungkin kira-kira satu tahun” katanya. Sang anak mulai menjadi hikikomori karena gagal mendapatkan pekerjaan saat dia baru tamat kuliah

Fenomena 80:50

Kebanyakan dari kasus hikikomori dialami oleh mereka yang belum berumah tangga. Hal ini terjadi karena biasanya hikikomori berlangsung sejak masih remaja hingga dewasa. Karena masih tetap tinggal dirumah orang tuanya, maka terjadilah anak yang sudah berumur 50 tahun masih dibiayai oleh orang tuanya yang sudah berusia 80 tahun. Orang tua yang masih harus menanggung biaya hidup anaknya ini terpaksa harus menguras dana pensiun yang seharusnya di pakai untuk menikmati hari tuanya. Fenomena ini akhirnya dikenal dengan sebutan fenomena 80:50.

    Melihat kondisi orang tuanya yang semakin menua dan sakit-sakitan timbullah rasa takut pada sang anak bagaimana jadinya kalau orang tuanya meninggal, bagaimana dia dapat melanjutkan kehidupan tanpa uang..Rasa takut yang menghantuinya siang dan malam ini pada saatnya berubah menjadi keberanian untuk menelpon LSM yang memberikan dukungan kepada mereka yang terkena hikikomori.     Tapi, tidak semuanya beruntung berhasil mengalahkan rasa takutnya itu, bagi mereka yang sudah terlalu lama menderita hikikomori tetap saja tidak sanggup berubah hingga orang tuanya meninggal, dia membawa pulang abu jenazah nya yang telah di kremasi di fasilitas pemerintah, ke dalam kamarnya disandingkan disebelah guci abu ibunya yang telah lebih dulu meninggal,”aku sedang mengumpulkan uang untuk biaya kuburannya..” katanya.

Tulisan oleh:
Muhammad Surya
Japanese Simultaneous interpreter, translator & narator

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *